Entri Populer

Senin, 01 Juli 2013

definisi pemasaran syariah

Pemasaran syariah atau sering disebut dengan syarī’ah marketing merupakan sebuah frasa yang berasal dari dua kata asing yakni “al-syarīah” (الشريعة) dan “marketing”. Kata ”al-syarīah” (الشريعة) berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syara(شرع), yang secara etimologis (Lisānul Arab, VIII/175)  berarti sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Adapun secara terminologis (Mu’jam al- Wasith, I/479), diartikan dengan :
 ماشرعة الله لعباد من العقا ئد ي والاحكام
 mā syiratillahi li-ibādihi mina’l-aqāidi wa’l-ahkami
“segala sesuatu yang ada pada syir’ah Allah untuk makhluk yang beribadah kepada-Nya yang mencangkup kaidah-kaidah dan hukum-hukum.”
Kata syirah (الشرعة) yang dijelaskan dalam pengertian tersebut, diartikan sebagi aturan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah  Ta’alā dalam Qs. Al-Māidah [5]:48 :
…لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا …
 Likullin jaalnā minkum syiratan wa minhājā
 “…untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang...”
Kartajaya dan Sula (2006:58) mengatakan bahwa kata al-syarī’ah   sebenarnya telah ada dalam kosakata bahasa Arab sebelum turunnya kitab suci umat Islam. Kata tersebut disebutkan dalam bahasa Ibrani pada Perjanjian Lama sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan pada makna “kehendak Tuhan yang diwahyukan sebagai wujud kekuasaan-Nya atas segala perbuatan manusia”.
Al-Qaradhawi (1990) dalam Madkhal lī Dirasah Syarīah Islamiyah sebagaimana dikutip Kartajaya dan Sula (2006:61) menjelaskan bahwa cakupan syariah dalam pandangan Islam sangatlah luas dan komprehensif (asy-syumul). Di dalamnya mengandung makna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, wakaf, wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang-piutang, pemasaran, hibah), aspek ekonomi (permodalan, zakat,bait al-māl, fai, ghanimah), aspek hukum dan peradilan, aspek undang-undang hingga hubungan antar negara.
Tujuan dari penerapan syariah adalah untuk kemaslahatan manusia karena AllahTa’alā menurunkan perintah maupun larangan agar terjaga keseimbangan dalam kehidupan dan manusia memperoleh kemaslahatan bagi dirinya. Al-Syatibi mengatakan bahwa :
 ان الا حكام شرعت لمصالح لعباد
Inna’l-ahkāma’sy-syariata li maşālihil’l-ibādi
“ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia” (Romli, 2007: 129)
 Adapun Sya’ban  menyebutkan bahwa:
 ومن المتفق عليه بين جمهور العلماء ان الله سبحانه لم يشرع احكا مه الا لمقاصدعامة وان هذه المقاصد تر جع الي جلب المنافع الناس ودفع المفاسد عنهم واخلاء العالم من اشرور و الاتثام
 Wamina’l-muttafaqqin alaihi baina jumhūri’l-ulamā-i innallaha subhānahu lam yasyri ahkāmahu illa limaqāşidi āmmatin wa inna hadzihi’l-maqāşid tarjiu ilā jalbi’l-manāfiu linnāsi wadafi’l-mafāsidu anhum wa ikhlā-i'l-ālam mina’sy-syurūri wa’l-atsāmi
 ”Sebagian besar Jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah Yang Mahasuci Dia tidak mensyariatkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi umat manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan dosa.” (Romli, 2007:129)  
 Berbagai sumber tersebut memberikan pemahaman bahwa syarī’ah adalah aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā melalui para utusan-Nya sebagai pedoman hidup manusia, dengan tujuan untuk membawa kemaslahatan. Jika pemasaran (marketing) merupakan serangkaian proses untuk memberikan nilai yang dibawa oleh sebuah organisasi kepada para pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya (stakeholder), maka pemasaran syariah (syarīah marketing) dapat didefinisikan sebagai serangkaian proses untuk memberikan nilai yang dibawa oleh sebuah organisasi kepada para pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya serta dalam setiap prosesnya berkaitan erat dengan aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā.
 Nilai utama yang dibawa oleh sebuah organisasi Islam dalam setiap aktifitasnya adalah ketauhidan. Hal ini memiliki makna pengakuan bahwa Allah Ta’alā adalah Tuhan dari segala sesuatupencipta dan penguasa dari segala kehidupan, serta hanya Dia-lah yang berhak diibadahi juga disifati dengan sifat-sifat yang Maha Sempurna (suci dari segala kekurangan). Allah Ta’alā berfirman dalam Qs. An-Nahl [16]:36 :
ولقد بعثنا في كل امة رسولاان اعبدالله وجتنبوا الطاغوت  
Walaqad baatsnā fī kulli ummatin rasūlan an-ubudū’l-laha wajtanibū’th-thāgūt
“Sesungguhnya Kami telah membangkitkan Para Utusan (Rasul) kepada setiap umat (untuk menyerukan)“Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)”.
Nilai ketauhidan juga termanifestasi dalam aktifitas pemasaran syariah. Hal inilah yang menyebabkan setiap aktifitas pemasaran syariah senantiasa berlandaskan atas sikap ketundukan dan ketaatan terhadap nilai-nilai moral yang telah diatur oleh syariah. Setiap muslim yang taat, memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’alāadalah tujuan akhir dari setiap aktifitas, serta kecintaan kepada Allah Ta’alāadalah puncak dari seluruh aktifitas spiritual. Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa aktifitas ibadah kepada Ar-Rahman adalah puncak dari rasa cinta kepada-Nya, yang diiringi puncak perasaan rendah dari seorang hamba di hadapan-Nya (Abdurrahman, 2009:51).
Pemasaran syariah juga diartikan sebagai wakalah (pelimpahan wewenang), karena untuk mencapai optimalisai kinerja pemasaran produk, organisasi perlu membentuk struktur khusus yang menjalankan tugas pemasaran. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kewenangan atas organisasi akan melimpahkan wewenangnya kepada orang lain atau sekelompok orang untuk menjalankan tugas dalam hal strategi dan teknis pemasaran pada organisasi tersebut.
Wakalah (perwakilan/pelimpahan wewenang) merupakan tinjauan pemasaran dari sisi fiqh muamalah. Al-Hamd (2005:341) mengatakan bahwa dalam Al-Fath, al-Wakālah (الوكالة) dengan fathah wawu dan terkadang dikasrahkan (al-Wikālah) memiliki makna mewakilkan, melimpahkan, dan penjagaan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika seseorang mengatakan “wakkaltu fulanan” (وكلت فلانا)  maka dapat diartikan “saya meminta agar dia menjaganya”, sedangkan jika seseorang mengatakan “wakaltu al-amra ilaihi” (وكلت الامرايليه) dengan tanpatasydid pada huruf kaf (…ﻛ) maka diartikan “saya melimpahkan sesuatu kepadanya”. Adapun al-Wakālah/al-Wikālah (الوكالة) secara terminologi syariah (al-Jaziri, 1969: 167-168 dalam Suhendi, 1997:231-232) bermakna menjadikan seseorang sebagai pengganti orang lain untuk mengisi posisinya secara mutlak atau bersyarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar