Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka
mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu
sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam
isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan
bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu
barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
·
Kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri.
·
Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan.
·
Suatu pokok persoalan tertentu.
·
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif.
Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua
(kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak
terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang
halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan
di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan
dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang
selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam
suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap
lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai
detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak
membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang
bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah
lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik
lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung
adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang
mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau
masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian
merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah
perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat
antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata
sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini
adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata
itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan
kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa
itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat
dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau
wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu
dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih
sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau
yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau
tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih
atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya
mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat
orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang
mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang
menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus
diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian
tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum
perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan
untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus
halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi
setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal.
Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi
perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan
kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang
biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga
bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang
bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan
dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat
mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda.
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
·
Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat
antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
·
Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang
yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
·
Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga
penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar