Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa
“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan:
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban
si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”. Dari pasal
tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian
“memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk
memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu”
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai
dua pengertian, yaitu:
·
Penyerahan
kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
·
Penyerahan hak
milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang
lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu
adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan
sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak
telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana
mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak
bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana
yang telah ditentukan dalam perjanjian. Hal inilah yang disebut dengan wanprestasi.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala
ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Menurut R.Subekti, melakukanprestasi tetapi tidak sebagaimana
mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan
adalah sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi.
Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab
bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat
dikatakan telah wanprestasi. Dalam hal wujud prestasinya
“memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian
telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.
Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan
dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah
dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut.
Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka
dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna
memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi,
dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi.
Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak
menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakanwanprestasi,
sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang
dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi. Wanprestasi berarti debitur tidak
melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal
dari bahasa Belanda yang berartiprestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila
ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan
sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat
berupa 4 (empat) macam:
·
Tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukan;
·
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
·
Melakukan apa
yang dijanjikan tetapi terlambat;
·
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada pendapat lain mengenai
syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:
·
Debitur sama
sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu
menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debiturmemang
tidak mampu berprestasi;
·
Debitur berprestasi
tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitursudah beritikad
baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan
pemenuhannya;
·
Debitur terlambat
berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun
terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat hukum dari debitur yang
telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai
berikut:
·
Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti-rugi;
·
Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
·
Peralihan risiko.
Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak
dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
·
Membayar biaya
perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus
menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam
menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut:
·
Dapat menuntut
pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;
·
Dapat menuntut
penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi tersebut
dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
·
Dapat menuntut
pemenuhan dan penggantian kerugian;
·
Dapat menuntut
pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
·
Dapat menuntut
pembatalan dan penggantian kerugian.
Sehubungan dengan kemungkinan
pembatalan lewat hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1267 KUHPerdata
tersebut, maka timbul persoalan apakah perjanjian tersebut sudah batal karena
kelalaian pihak debitur atau apakah harus dibatalkan oleh
hakim. Dengan kata lain, putusan hakim bersifatdeclaratoir ataukah
bersifat constitutive.
R. Subekti mengemukakan bahwa “menurut
pendapat yang paling banyak dianut, bukannya kelalaian debitur,
tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu
bersifat constitutive dan bukannyadeclanatoir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar